KOLUSI DAN KORUPSI
BAB I
Di dalam bangsa kita upaya untuk mewujudkan tujun sebagaimana terdapat dalam Preanibitle UUD 1945, ternyata telah banyak ditemukan berbagai kendala, hambatan dan tantangan yang mendasar antara lain Korupsi dan kolusi ditengah masyarakat kita. Praktek korupsi dan kolusi sangatlah membahayakan esksitensi sebuah negara dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa bahkan sampai merusak integritas bangsa, oleh karena itu diperlukan langkah langkah yang bersifat strategis serta upaya-upaya konkrit untuk memberantas yang tumpuli dengan subur di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Hadis Nabi seperti tersebut sebelumnya telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Terdapat kajian yang mengidentifikasi hadishadis yang terkait dengan korupsi dan menganalisisnya secara ijmâlî- tahlîlî. Terdapat juga kajian yang menitikberatkan kepada sanksi hukum yang dilakukan Nabi terhadap pelaku korupsi. Selain itu, ada pula kajian yang meletakkan kajian hadis sebagai bagian kecil dari kajian yang lebih besar tentang perspektif Islam terhadap tindak pidana korupsi. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk-bentuk korupsi, argumen yang mendasari larangan korupsi, serta upaya preventif, detektif, dan kuratif penanggulangan korupsi sebagaimana disebut dalam hadist hadist Nabi Muhammad saw. secara tematik-kontekstual. Salah satu bentuk pengembangan wacana keagamaan antikorupsi adalah kajian-kajian di bidang hadis Nabi. Dalam hadis Nabi sangat banyak rujukan tentang korupsi. Di antaranya ada yang berkaitan dengan jenis-jenis korupsi, seperti Ghulul dan Risywah (penyuapan), penerimaan hadiah oleh pejabat, penggelapan, dan sebagainya.
B. PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi dan Kolusi
Korupsi secara bahasa berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus yang bermakna merusak, tidak jujur, dapat disogok. Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi bermakna buruk, rusak, busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Di bagian lain juga disebutkan korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Secara istilah, redaksi definisi korupsi cukup beragam sekalipun dengan makna yang sejalan.
Leiken mendefinisikan korupsi sebagai penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan material pribadi atau kemanfaatan politik. Adapun Syed Husein Alatas mendefinisikan korupsi sebagai “abuse of trust in the interest of private gain, penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.6 Sejalan dengan definisi sebelumnya, Kartini Kartono mendefinisikan korupsi sebagai menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Pada sisi lain, Jeremy Pope mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Transparansi Internasional mendefinisikan korupsi sebagai “the abuse of entrusted power for private gain,” penyalahgunaan amanah yang dipercayakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Selanjutnya dalam literatur keislaman, istilah korupsi identik dengan kata Ghulul dan Risywah atau Rasywah yang berarti : Suap atau pemberian sesuatu kepada seseorang karena ada maksud menyuap.Selanjutnya, istilah kolusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti: kerjasama secara rahasia untuk maksud terpuji, persengkongkolan. Dalam Bahasa Inggris juga disebut artinya persengkongkolan, kongkalingkong.Dalam istilah Al-Qur`an kolusi termasuk Ta`awanu `ala al-Itsmi wa al-Udwan yaitu suatu bentuk kerjasama dalam melakukan kejahatan. Berdasarkan uraian dan definisi diatas, dapat dipahami bahwa korupsi dan kolusi adalah salah satu bentuk pelanggaran hukum, yaitu sebuah perbuatan penyalahgunaan yang menyeleweng serta menyimpang dengan menggunakan kesempatan untuk kepentingan pribadi atau orang lain, dan dapat disebut juga sebagai penyakit dalam pembangunan integritas bangsa negara dan agama.
B. Larangan Menyuap
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan hadis larangan dan undang-undang terkait risywah (suap) dan hadiyat al-‘Ummal (gratifikasi), peneliti belum mendapatkan penelitian yang mengkaji tentang korelasi hadis larangan risywah dan hadiyat al-'Ummal dan undang-undang negara terkait pelarangan pemberian dan penerimaan suap dan gratifikasi dalam menjaga stabilitas ekonomi negara. Adapun beberapa penelitian terdahulu antara lain:
Pertama, Haryono Haryono, yang meneliti tentang “Risywah (Suap menyuap)
Dan Perbedaannya Dengan Hadiah Dalam Pandangan Hukum Islam (Kajian Tematik
Ayat Dan Hadis Tentang Risywah)” yang dilakukan pada tahun 2017. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kualitatif. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada asalnya hukum risywah adalah haram, Dengan menggunakan metode tafsir maudhui atau tafsir tematik. Sisi kesamaanya adalah mengkaji risywah dalam pandangan hukum Islam dari segi hadis. Sedangkan sisi perbedaannya adalah penelitian ini membahas tentang hadis larangan serta undang-undang terhadap risywah dan hadiyat al-‘Umma.
Kedua, Arif Budiono, yang meneliti tentang “Suap Dalam Al-Qur’an Dan
Relevansinya Dengan Gratifikasi di Indonesia (Kajian Tafsir Tematik)” yang dilakukan pada tahun 2021. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kualitatif. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa di surat An-Naml ayat 35 dan 36 kata hadiyyah ditafsirkan sebagai risywah atau suap dan ini juga relevan dengan yang diatur oleh undang-undang yang ada di Indonesia. Sisi kesamaannya adalah membahas tentang suap dan gratifikasi. Sisi perbedaannya adalah peneliti membahas tentang suap dan gratifikasi dalam pandangan hadis dan undang-undang.
Ketiga, Octavian, Andrean yang meneliti tentang “Gratifikasi, Suap Tindak
Pidana Korupsi Dalam Prespektif Hukum Pidana Islam” yang dilakukan pada tahun
2021. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kualitatif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa gratifikasi yang mengarah pada intervensi hukum demi kepentingan tertentu bahkan mereduksi beban hukum yang akan diterima atau bahkan meniadakannya, hal tersebut masuk dalam gratifikasi berupa suap. Tindak korupsi sendiri dalam Islam, sama halnya dengan kasus pencurian yang jika masuk dalam Fiqh Jinayah, maka hal ini disesuaikan dengan banyaknya korupsi (uang yang dicuri) tersebut. Sedangkan gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Ayat (1) UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 di mana dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Sisi kesamaannya adalah membahas tentang hukum tentang gratifikasi dan suap. Sedangkan sisi perbedaannya adalah penelitian ini mengkaji tentang hadis larangan gratifikasi dan suap.
Adapun hadis-hadis yang berkaitan dengan risywah antara lain:
لعَن َرُسوُل الَّلِه َصَّلى الَّلُه َعَلْيِه َوَسَّلم الَّراِشي والمرتشي
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap dan penerima suap”
Dan juga terdapat hadis yang senada
لعَنُة الَّلِه َعَلى الَّراِشي َولمرتشي
“Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.”
Dari hadis tersebut menunjukkan bahwasanya pemberi dan penerima sama-sama
terlaknat, yaitu dijauhkannya dari rahmat Allah azza wa jalla. Bahkan termasuk dosa-dosa yang paling besar.
Pandangan Al Qur’an Tentang Risywah (menyuap) merupakan kejahatan yang dilarang dalam Islam begitu juga tindakan tercela dalam kehidupan manusia. Dikatakan kejahatan karena memang di dalam prakteknya sarat dengan manipulasi dan kezhaliman terhadap sesama. Di dalam al Qur‟an terdapat empat ayat yang berkaitan langsung dengan risywah. Rincian dari ayat tersebut yaitu satu ayat terdapat di Surat al Baqarah ayat ke-188.
لعَنُة الَّلِه َعَلى الَّراِشي َولمرتشيوَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Janganlah sebagian kalian memakan harta sebahagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan janganlah kalian membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kalian mengetahui.” (QS. Al- baqoroh: 188
Dalam republik Indonesia pun telah diatur dalam berbagai undang-undang yang berkaitan dengan suap dan gratifikasi, antara lain:
1. Peraturan tentang suap diatur dalam pasal 5 undang-undang nomor 20 tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana
korupsi (UU Tipikor) yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (tahun) dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelengara negara tersebut
berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya”.
negara. Praktik suap dan gratifikasi yang terjadi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, memperburuk pengelolaan keuangan publik, dan mengurangi kepercayaan investor terhadap negara. Dan juga, kedua tindakan tersebut menimbulkan pola pikir negatif dalam masyarakat “ambil sedikit tidak mengapa” maka akan terjadinya jumlah lapangan pekerjaan yang sedikit, persaingan yang tidak sehat dan akan menimbulkan dampak negatif kepada negara, yaitu inflasi dan kurs mata uang yang rendah. Serta dampak suap terhadap pertumbuhan ekonomi negara lainnya adalah tidak akan tercapainya pertumbuhan ekonomi secara wajar dan tidak tercapainya pemerataan ekonomi karena sifat koruptif pejabatnya dan memperparah hancurnya moral bangsa akibat perilaku suap yang tidak memiliki integritas yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.
Akan tetapi, upaya pemerintah untuk memerangi praktik korupsi dapat memberikan dampak positif terhadap stabilitas ekonomi negara. Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mendorong transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan publik dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan investor terhadap pemerintah. Oleh karena itu, penting untuk memahami dampak dari penerimaan suap dan gratifikasi terhadap stabilitas ekonomi negara, antara lain:
Pertama, praktik suap menyuap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Dalam praktik suap, sejumlah uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan investasi malah digunakan untuk kepentingan pribadi. Hal ini akan mengurangi anggaran yang tersedia untuk investasi dan pembangunan, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat.
Kedua, praktik suap menyuap dapat memperburuk pengelolaan keuangan publik. Suap dapat mengurangi pendapatan negara, mengganggu pengelolaan anggaran, dan memperburuk efektivitas program-program pembangunan. Penerimaan suap dan gratifikasi juga dapat menimbulkan perilaku yang tidak etis dan tidak profesional di dalam pemerintahan, yang dapat mengganggu kinerja dan efektivitas dari institusi pemerintahan. Hal ini dapat menyebabkan pengelolaan keuangan publik menjadi kurang transparan dan akuntabel, serta dapat mengurangi kepercayaan masyarakat Setelah meninjau paparan pada bagian pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat dicakup dalam penelitan ini adalah:
1. Bahwa larangan memberi dan menerima suap serta gratifikasi merupakan prinsip yang penting dalam Islam dan juga ditegaskan dalam undang-undang di Indonesia.
2. Korelasi antara hadis larangan risywah dan hadiyat al-‘Ummal dengan undang-undang tentang penerimaan suap dan gratifikasi adalah kedua sumber hukum meliki tujuan yang sama dengan undang-undang tersebut, yaitu melarang praktik korupsi dan memberikan sanksi bagi pelaku.
3. Dampak suap dan gratifikasi terhadap pertumbuhan ekonomi negara adalah: (a) praktik suap menyuap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, (b) praktik suap menyuap dapat memperburuk pengelolaan keuangan publik, (c) praktik suap menyuap dapat mengurangi kepercayaan investor terhadap negara, (d) praktik suap menyuap dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, (e) tidak akan tercapainya
pertumbuhan ekonomi secara wajar dan tidak tercapainya pemerataan ekonomi karena sifat koruptif pejabatnya dan memperparah hancurnya moral bangsa akibat perilaku suap yang tidak memiliki integritas yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompok
C. Larangan Pejabat Menerima Hadiah
1. Pengertian Gratifikasi
(Gratifikasi) Hadiah adalah uang yang diberikan pada hakim atau pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Di dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi. Dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi adalah pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan parawisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Sehubungan dengan datangnya surat edaran pemerintah tahun 2010 tentang larangan memberikan hadiah (gratifikasi) atau imbalan kepada pejabat /pegawai, bersama ini di sampaikan beberapa aitem sebagai berikut:
a. Kami melarang seluruh pelaku pasal modal dan lembaga keuangan atau pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dengan Bapepam-LK memberikan hadiah atau imbalan dalam bentuk apapun kepada pejabat atau pegawai Bapepam-LK terkait dengan aktivitas pengawasan,pembinaan dan penegakan hukum dibidang pasar modal dan lembaga keuangan.
b. Sekiranya masih terdapat pihak-pihak yang tetap memberikan hadiah/imbalan kepada pejabat atau pegawai Bepepam-LK maka kami akan menyerahkan penanganan pemberian hadiah /imbalan tersebut kepada pihak yang berwewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Mohon kiranya edaran ini dapat di sebarluaskan pula kepada rekan-rekan saudara dan anggota masyarakat lainnya.
Allah SWT memerintah untuk memilih jalan kemaslahatan sesuai
dengan firman Allah Az-zumar.
وَاتَّبِعُوْٓا اَحْسَنَ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَّاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ
Artinya: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.(QS.Az-Zumar: 55).
Memberi dan menerima suap adalah haram berdasarkan Al-quran dan Hadis Nabi SAW, serta ijma’. Ditinjau menurut Al-quran surat Al-baqarah ayat 188, Allah berfirman:
لعَنُة الَّلِه َعَلى الَّراِشي َولمرتشيوَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ
Artinya: “Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu memberi urusan harta itu kepda hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”. (al-Baqarah: 188).
Dalam ayat diatas, ada larangan untuk memakan harta dengan cara bathil walaupun diberikan dengan sukarela oleh pemberinya seperti menerima suap. Al-baghawi berkata, “Artinya (ayat di atas tadi), jangan kalian berikan harta itu kepada hakim dengan cara suap agar dia mengubah hukum untuk kalian.”
2. Larangan Pejabat Menerima Hadiah
Dalam Islam, (gratifikasi) hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih mendekatkan persaudaraan atau persahabatan, sebagai mana yang telah disebutkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Iman Malik dalam kitab Muwatha dari Al-Khurasany: “Saling bersalaman kamu semua, niscaya akan menghilangkan kedengkian, saling memberi hadiahlah kamu semua, niscaya akan saling mencintai dan menghilangkan percekcokan.” (H.R Imam Malik). Bagi orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut keliatannya hina dan tidak berguna Nabi bersabda: “Dari Anas r.a, bahwa Nabi SAW bersabda,”Kalau saya diberi hadiah keledai, pasti akan saya terima.” (H.R Turmudzi).
Pada dasarnya, memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk menerimanya.Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah.
0 Komentar